SLIDE1

PERSISTENCE


Tidak mudah untuk terus bertahan dan terus maju, walaupun keadaan sepertinya tidak memungkinkan, tapi itulah yang dihadapi oleh John Stephen Akwari disaat dia diutus sebagai pelari Marathon mewakili negaranya Tanzania, di Olympic Games 1968 di Mexico City, kalau saja dia menyerah, maka dunia tidak akan mengenang dia. Padahal dia sudah dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertandingan. Petugas Medis, sudah berkali-kali minta dia berhenti berlari, karena luka di kakinya kelihatan makin parah, sekalipun sudah dibebat dan diberi obat. Memang tidak mudah bagi John, karena disamping sakit, bebatan itu menghambat dia untuk lari. Apakah dia menyerah? Tidak dia terus berlari menuju garis finish. Banyak orang sudah pulang, hanya beberapa petugas yang masih tersisa di lapangan. Dari jauh kelihatan John, lari terseok-seok diiringi petugas medis yang terus memantau dan minta untuk berhenti, tapi John terus berlari, dan akhirnya dia masuk garis finish, tanpa sambutan, tanpa tepuk tangan, karena nyaris tidak ada orang lagi. Pelari terakhir yang memasuki lapangan sebelum John sudah kembali ke hotel 1 jam sebelumnya. Hanya ada beberapa wartawan, yang karena satu dan lain hal masih ada disana. Salah satu dari mereka memotret John, sambil bertanya,”Mengapa kamu tetap lari, padahal sudah tidak ada gunanya lagi?”
John Stephen Akwari menjawab dengan mantap "My country didn't send me here to start the race. They sent me to finish it!"
Sampai Olympic Games yang terakhir di Beijing, dia tetap dianggap sebagai “One of The Greatest Olympic Hero” padahal dia tidak mendapatkan medali emas, pelari yang mendapat medali emas di nomor yang diikuti oleh John, sudah dilupakan orang, tapi John tetap dikenang sebagai Pahlawan yang hebat. Mengapa? Karena dia tidak mudah menyerah, dengan tekun dia menyelesaikan tugas atau cita-cita yang dimilikinya, inilah definisi dari PERSISTENCE.

Dalam pengertian yang lebih jelas dapat dijelaskan sebagai berikut,
To Persist : to continue steadfastly or firmly in some state, purpose, course of action, or the like, esp. in spite of opposition, remonstrance, etc.: to persist in working for world peace; to persist in unpopular political activities.

Saya sering sekali menghadapi keadaan seperti ini, rasanya sudah mau berhenti, sudah tidak sanggup lagi untuk maju baik dalam menjalani hidup, atau disaat saya mendaki jalanan menanjak dengan sepeda gunungku. Membayangkan berhenti adalah satu kemewahan yang amat sangat nikmat. Tapi pertanyaan saya, apakah benar seperti itu?

Perhatikan apa yang dialami oleh FLORENCE CHADWICK , dia adalah seorang perenang kawakan yang sudah pernah menaklukan Selat Inggris, kini di usia 34 tahun pada tanggal 4 Juli 1952, dia ingin persembahkan pretasinya bagi Amerika, di hari Kemerdekaan Amerika, dia mau menyeberangi Selat CATALINA, yang berada diantara Pulau Catalina dan Pesisir California, yang berjarak 32 kilometer.
Pada pagi yang dingin dan berkabut, Florence diantar oleh ibunya dan didampingi oleh coachnya, mulai berenang, ribuan orang menyaksikan lewat televisi kejadian istimewa yang bersejarah ini. Setelah 15 jam berenang, dia merasa sudah tidak kuat lagi, dia merasa tubuhnya kaku, karena dinginnya air laut saat itu, dia minta pada coachnya untuk berhenti, minta diangkat keluar dari air. Tapi coachnya dan juga ibunya minta agar Florence tetap bertahan, tapi 55 menit kemudian, dia menyerah, dan dia diangkat keluar dari air. Setelah itu tubuhnya dibalut handuk dan selimut tebal, lalu dia diberi minum coklat panas, 1 jam kemudian, ketika dia mulai merasa nyaman dan tubuhnya hangat...lalu dia menyesal.
Ya inilah keadaan yang salalu saya hindari, karena berhenti sebelum waktunya selalu akan menghasilkan penyesalan. Saya sering berkata pada diri sendiri disaat seperti itu, ayo sedikit lagi, jangan menyerah, kamu pasti bisa. Saya masih ingat, ketika saya berada ditanjakan terakhir, yang sangat curam, mendaki dengan MTB saya, sekalipun saya tahu jaraknya hanya tinggal 800 meter, tapi acapkali saya ingin berhenti, paha dan betis sudah panas, nafas tersengal-sengal, sering disertai dengan perut kejang. Saya terus mendorong diri saya untuk tidak berhenti. Tapi sayang sama seperti Florence Chadwick, acapkali saya juga menyerah, dan setelah itu menyesal. Bagaimana dengan anda?
Penyesalan Florence makin menjadi-jadi ketika dia tahu daratan California itu hanya tinggal 2,4 km, bayangkan dari 32 km, dia sudah menempuh sebagian besar dari jarak tersebut yaitu 29,5 km. Florence menyesal, lalu dia berkata,”Seandainya saya bisa melihat daratan itu tentunya saya tidak akan berhenti”
Sangat menarik dari Florence kita bisa belajar satu hal, kalau kita mau PERSISTENCE, maka kita perlu melihat, atau dalam kata lain, kita perlu memiliki visi yang jelas, lalu kita perlu memiliki tolok ukur yang jelas, sehingga kita bisa mengertyi sejauh mana kita sudah menempuh perjalanan ini.

Saya tahu di dalam kehidupan ini, ada banyak orang juga seperti ini, kehilangan semangat untuk maju, kehilangan fokus dalam perjuangan yang sedang kita tekuni.
Dari dua contoh diatas, seharusnya kita sudah belajar, bagaimana kita bisa memiliki mental seorang “pejuang sejati”. Untuk ini, saya ingat ketika Aa Gym, menjelaskan bedanya antara PEJUANG dan PEKERJA. Kata beliau, PEKERJA, selalu bekerja sesuai perintah, PEKERJA punya jam kerja, dan PEKERJA akan berhenti bekerja bila jam kerja sudah selesai, tapi berbeda dengan PEJUANG tidak punya jam juang, PEJUANG berjuang bukan berdasarkan perintah, tapi berdasarkan cita-cita luhur, PEJUANG akan terus berjuang sampai cita-cita luhurnya tercapai.

Saya yakin setiap kita sudah mengerti apa artinya memiliki mental seorang pejuang. Ketika kita berada di bawah tekanan, walaupun lelah, bosan menghadang, keadaan tidak memungkinkan, disitu seharusnya seorang pejuang tetap dapat konsisten menjalankan fungsinya sampai cita-cita luhur tercapai. Itulah seorang juara.
Tapi tahukah saudara, sebuah mental pejuang, mental juara, mental pemenang, tidaklah seketika terjadi? Kalau kita melihat sejarah dari para juara tersebut, kita akan mengerti bahwa mental itu, adalah hasil dari latihan yang sulit dan panjang. Hal ini sudah pernah saya tulis sebelumnya, saya selalu ingat apa yang dikatakan oleh Mohamad Ali, tentang “latihan”, memang latihan membosankan dan melelahkan, tapi tanpa latihan menjadi seorang juara adalah hal yang mustahil. Dia pernah mengatakan, I hated every minute of training, but I said,”Don’t quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion”
Dari perjuangan demi perjuangan, atau dari pertandingan demi pertandingan, bagaimana seorang juara atau pejuang sejati memotivasi diri sendiri di lapangan, bagaimana untuk tetap fokus di dalam tekanan. Semuanya, mereka dapatkan dari sebuah perjalanan yang tidak ringan.

Michael Jordan, pemain basket legendaris NBA. Dikenal sebagai seorang pemain basket kawakan yang sering menyelamatkan timnya dari kekalahan di detik-detik terakhir. Di dalam olah raga Basket ada satu istilah, yang disebut “Buzzer Beater” (di mana seorang pemain, dapat menmbakan bola didetik terakhir dan masuk ke ring lawan). Lebih lanjut, Michael Jordan berkata, “Mungkin kalian selalu melihat kalau aku sering menjadi pahlawan dengan melakukan Buzzer Beater di dalam sebuah pertandingan, namun sebenarnya, kegagalan aku melakukan tembakan terakhir jauh lebih banyak.” Tahukah saudara apa yang dia katakan, “I've missed more than 9000 shots in my career. I've lost almost 300 games. 26 times, I've been trusted to take the game winning shot and missed. I've failed over and over and over again in my life. And that is why I succeed.”

Sebuah proses, sebuah perjalanan yang panjang, penuh dengan liku-liku yang tajam,  tidak sedikit tanjakan curam harus dihadapi. Ya, itulah yang kita perlukan. Dan seringkali proses dan perjalanan itu tidaklah mudah, bahkan mungkin menyakitkan. Seperti yang dikatakan oleh petinju legendaris Mohamad Ali, “I hated every minute of training”, but I said,”Don’t quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion”
Ya betul “Don”t quit” seperti yang dikatakan oleh Mohamad Ali, juga John Stephen Akwari, juga oleh Florence Chadwick. DON’T QUIT…

Pagi ini saya didesak oleh editor majalah “Infoz” untuk menulis artikel ini, saya hampir menyerah, ditengah semua kesibukan menghadapi pernikahan anak saya Ira, pada bulan Desember mendatang. Kemudian jet-lag masih terasa, sekembalinya dari USA dan ditambah dengan kondisi tubuh yang meriang. Beberapa kali saya mencoba menyerah dengan mengatakan “…saya lelah sekali”. Tapi tiba-tiba terlintas dipikiran saya para relawan Merapi, relawan Mentawai juga relawan Wasior yang sedang berjuang, ingat mereka buka bekerja, tapi berjuang untuk menolong para korban, banyak dari mereka masih muda, tapi mereka sudah memberi hidup mereka bagi Indonesia. Saya tersedak, seperti menelan makanan dalam gumpalan besar, saya terbangun dan mulai menulis. Tidak banyak yang saya dapat lakukan, tapi saya berharap ada orang yang ikut tersedak, dan terus bangkit ikut membangun Indonesia. Ini waktunya untuk mulai bertindak bagi negeri kita.
Sayup-sayup dihatiku, masih terdengar nyanyian perjuangan…bangunlah badannya, bangunlah jiwanya…untuk Indonesia Raya.
Cintaku bagi negeriku INDONESIA            |          andreas nawawi, banten, indonesia